Watashi, Nouryoku wa Heikinchi de tte Itta yo ne! Chapter 3 Bahasa Indonesia

 

Chapter 3: Teman

Translated & Proofreaded by: AiTL


Adele memulai sekolahnya dengan semangat. Kemarin, dia telah mendapat dua koin silver lagi hasil pekerjaannya di toko roti, dan dia juga diperbolehkan membawa roti sisa, yang bisa dia simpan di kotak inventory tanpa khawatir basi.

 

Sesaat setelah dia memasuki kelas, Adele dibombardir dengan pertanyaan.

 

“Pagi, Adele!”

 

“Apa yang kamu lakukan di hari liburmu?”

 

“”Ayo makan siang bersama hari ini!”

 

Serangan dari para laki-laki!

 

Adele diperebutkan di kelas.

 

Dia cukup pintar untuk masuk ke Kelas A, kemampuan fisik seorang kesatria perempuan, dan kemampuan sihir yang sangat menakjubkan—ditambah, kepribadian yang sangat rendah hati, yang mencoba untuk menutupi semua itu.


Terlebih lagi, meskipun dia mengatakan dirinya adalah seorang rakyat jelata, dirinya masuk ke sekolah tanpa mengikuti ujian, dan orang tuanya juga telah membayar seluruh iuran sekolahnya. Dan yang paling penting, Adele itu cantik.

 

Meskipun baru berusia sepuluh tahun, tetapi tiga tahun di akademi adalah langkah pertama dalam keterlibatan mereka dengan masyarakat sosial, dan dua tahun setelahnya, mereka akan dianggap sebagai orang dewasa. Tidak aneh jika, di tengah-tengah kelasnya orang berbakat, banyak dari mereka telah mencoba untuk membangun koneksi untuk masa depan mereka—romansa atau lainnya.

 

“Apa kalian tidak pernah belajar?! Lihat, kau mencekiknya!”

 

Sekali lagi, gadis dengan aura seorang ketua—atau mungkin lebih mudah untuk memanggilnya ketua?—campur tangan atas nama Adele.

 

“Te-terima kasih, aku tidak terlalu berpengalaman berbicara dengan laki-laki, jadi...”

 

Saat dia berbicara, Adele dapat merasakan mereka mempertimbangkannya dengan hati-hati. Sebagian, sepertinya, memberinya ruang, tidak ingin mengganggunya lebih lanjut. Tapi sebagian lagi terlihat siap untuk menekannya lebih lanjut, mengambil kesempatan dari kurangnya pengalaman Adele, untuk mengetes reaksinya.

 

Gadis lainnya tersenyum, dan seketika, Adele menyadari sesuatu. Apa yang telah gadis itu lakukan—adalah apa yang akan dilakukan oleh seorang teman. Gadis ini mungkin adalah...seorang teman! Dan jika benar, itu berarti dia adalah teman pertama Adele—dalam dua kehidupannya.


***

 

Pelajaran minggu pertama bertempat di ruang kelas.

 

Seperti yang diduga, para murid tidak langsung masuk ke pelajaran fisik atau sihir. Sebagai gantinya, mereka mulai dengan pelajaran umum, serta praktik keselamatan, dan teori dibalik pelatihan sihir dan bela diri mereka. Latihan baru akan dimulai minggu depan.

 

Selain itu, kemampuan penalaran Misato tetap ada dalam dirinya. Apakah Tuhan menganggap dia membutuhkan kecerdasan untuk menyerap kesadaran Misato? Atau apakah orang-orang pintar di dunia ini terus berkembang, meskipun peradaban mereka tidak bisa?

 

Bahkan saat terdapat kesalahan pada teori-teori sihir yang diajarkan gurunya, Adele tidak menyelanya, dan minggu itu berjalan tanpa masalah.

 

Kemudian datanglah hari sebelum hari libur.

 

“Nona Adele, kami ingin berbicara denganmu setelah ini.” Itu adalah Marcela, anak ketiga dari seorang baron, ditemani oleh kedua temannya. Pada kata-katanya, hati Adele berdegup kencang.

 

“Te-tentu saja!” Adele tergagap. “tapi di mana...? Oh! Kamarku seharusnya cukup luas, iya kan?!”

 

“Uh...oke, tidak apa-apa...” Marcela menjawab, terbingung dengan reaksi hangat dari Adele.

 

Seorang teman! Dan sebuah undangan! Ini adalah momen yang telah dia tunggu-tunggu.

 

***

 

Dilihat dari jauh, ketiga gadis itu—Marcela, putri ketiga dari seorang baron; Monika, anak kedua dari seorang saudagar kelas menengah; dan Aureana, seorang rakyat jelata yang masuk dengan beasiswa—hanya terlihat seperti seorang perempuan bangsawan dan tamunya.

 

Kepribadian Marcela sama seperti bangsawan pada umumnya. Namun, dia juga sangat murah hati, dan bersama Monika, yang telah menjadi temannya bahkan sebelum masuk akademi, telah membantu Aureana, yang seorang rakyat jelata, mengurangi kecemasannya. Itu, katanya, adalah tugas seorang bangsawan untuk meringankan penderitaan yang lemah.

 

Kali ini, mereka bertiga beraksi bersama.

 

“Apa yang dia maksud dengan ‘kamarku cukup besar’? Bukannya semua kamar memiliki ukuran yang sama?”

 

“Siapa tahu? Kupikir kita akan mengetahuinya setelah sampai di sana.”

 

“Ayo kita beri pelajaran pada gadis bermuka tebal itu!”


“Ya, Nona!”

 

Marcela tidak tahan dengannya—dengan Adele. Dia belum memastikannya sendiri, tetapi dia mendengar tentang kemampuan menakjubkan yang ditunjukkan Adele selama ujian. Itu masih tidak apa-apa. Semua orang punya kekuatannya masing-masing.

 

Namun, apa yang membuat Marcela tidak tahan dengannya adalah lirikan Adele yang mampu membuat para lelaki gelisah.

 

Setelah dia lulus, Marcela akan dipersiapkan untuk menjadi seorang pengantin, dan dua tahun kemudian, jika semuanya berjalan mulus, dia akan menjadi istri kedua dari bangsawan paruh baya, pengantin piala, atau—kemungkinan terburuknya—selir dari seorang bangsawan berpengaruh. Sampai saat itu, dia harus menjaga agar pilihannya tetap terbuka.

 

Fakta bahwa akademi dipenuhi dengan gadis-gadis yang mencari cinta, dan setiap orang yang mengancam akan memonopoli perhatian para anak laki-laki itu melanggar aturan tak tertulis. Marcela, sang putri baron miskin, akan membuat hal ini menjadi nyata.

 

Tanpa harapan dari para garis bangsawan, Monika dan Aureana tidak terlalu bermasalah dengan semua ini. Namun, demi temannya Marcela, mereka berdua siap membantu.

 

Saat terdengar suara ketukan, Adele melompat, dan berlari untuk membuka pintu.

 

“Se-selamat datang! Silakan masuk!” hatinya dipenuhi dengan rasa senang dan grogi. Bahkan di kehidupan sebelumnya, dia belum pernah menyambut teman sekelasnya di rumahnya.

 

Tapi saat tamunya masuk, Adele tersadar...aku tidak punya cukup kursi!

 

Kenapa aku begitu ceroboh?

 

Membuat seorang tamu duduk di kasur saja sudah buruk. Terlebih lagi, membuat tiga tamunya duduk di kasur saat dia duduk di kursi akan membuat situasi tiga lawan satu yang aneh.

 

“M-maaf! Aku lupa untuk menyiapkan tempat duduk! Tunggu sebentar, aku akan meminjam beberapa kursi.”

 

Adele bergegas pergi sebelum mendapat jawaban apa pun.

 

“Dasar ceroboh!” kata Marcela.

 

Monika mengangguk. “Tentunya. Tetapi sekarang aku tahu kenapa dia bilang kalau kamarnya besar.”

 

Itu benar: tempatnya terlihat besar. Tapi sebenarnya, ukuran kamarnya sama. Bedanya di kamar ini, tidak ada peti, barang bawaan, atau lampu. Tidak ada satu pun dekorasi, aksesori, ataupun boneka. Kamar itu praktis kosong.

 

Bahkan Aureana, yang seorang rakyat jelata, punya sebuah peti murah yang dibelinya di kota, yang didekorasinya dengan manik-manik kecil yang diberikan penduduk desanya.

 

Melihat sekitar di kamar Adele, dia berbicara dengan suara tercengang. “Hebatnya, tempat ini kosong...”

 

Marcela memegang pegangan pintu lemari yang disediakan akademi.

 

“Nona! Itu tidak boleh—”

 

Tidak menghiraukan peringatan Monika, Marcela membuka pintu lemari itu. “Dia tidak mempunyai pakaian!”

 

Hanya ada baju seragam yang diberikan sekolah di dalam lemari itu.

 

Selanjutnya, Marcela mengulurkan tangannya untuk membuka laci di bawahnya.

 

“K-kita tidak bisa melakukannya! Itu tidak—” Monika mencoba untuk menarik tangan Marcela, tetapi lacinya telah terbuka.

 

Sekali lagi, tidak ada apa pun di sana.

 

“Kosong...”


Sesaat kemudian, terdengar erangan kesakitan. Marcela dan Monika menarik tangannya dan berbalik untuk melihat Aureana yang berdiri di dekat laci meja, dengan ekspresi yang mengerikan.

 

“Ada apa?!”

 

Marcela mendekat untuk melihat isi laci tersebut, dan Monika, mengikuti Aureana, tampak khawatir.

 

Mereka melihat ke dalam laci dan terkejut.

 

Marcela berdiri, terkaget, dan terlihat air mata di pinggir mata Monika. Aureana bahkan sudah menangis.

 

Di laci itu terdapat sebuah tulang yang cukup besar.

 

Tulang itu ditaruh di piring, tetapi tidak ada bekas daging sama sekali. Tulang itu bersih, dipenuhi bekas sayatan pisau, terlihat seperti diambil dari dapur.

 

Kedua mata Marcela terbuka lebar. “Apakah ini...camilannya...?”


 


  

Saat Adele kembali dengan membawa beberapa kursi, mereka telah mengembalikan kamar itu seperti semula dan menyeka air mata mereka.


“Maaf telah membuat kalian menunggu.”

 

“Ti-tidak masalah...” Marcela membersihkan tenggorokannya. “Omong-omong, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”

 

Adele menarik kursi-kursi di sana membentuk sebuah setengah lingkaran. Adele sendiri duduk di kasur. Meskipun dengan kamar Adele yang sangat kosong, tidak ada banyak ruang untuk duduk.

 

“Apa itu?”

 

“Sepertinya kamu tidak mengikuti ujian masuk saat akan masuk ke akademi. Jadi kami ingin tahu—apakah kamu sebenarnya, seorang bangsawan?”

 

Jadi, pikir Adele, mereka mengetahuinya. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa berbohong kepada teman barunya itu, jadi Adele menjawab dengan jujur.

 

“Nah...itu benar. Tapi jika aku menggunakan nama keluargaku, mungkin aku akan di bunuh—oleh ayahku dan ibu tiri baruku, yang anaknya mengambil tempatku sekarang.”

 

Marcela mati-matian berusaha untuk tetap tenang dan menjaga tata krama bangsawannya.


Aureana terdiam, wajahnya seputih saputangan.

 

Akhirnya, Monika menelan ludahnya, suaranya penuh dengan keraguan. “Be-begitukah... U-umm, apakah kamu berbakat dalam sihir dan olahraga?”

 

“Hm?” Adele bertanya. “Tidak, aku biasa-biasa saja. Bahkan saat tes, aku hanya bisa menyamai nilai anak di depanku...”

 

Marcela mulai memahami rumor yang beredar. Gadis ini tidak tahu apa-apa!

 

Mungkinkah dia sama sekali tidak mengetahui bahwa anak di depannya itu mendapat nilai tertinggi di setiap bidang olahraga? Apakah dia benar-benar tidak tahu kalau semua orang menyadari bahwa dia dengan sengaja mencoba menahan diri agar dapat menyamai orang lain?

 

Mungkin orang tuanya telah memerintahkannya untuk menutupi kemampuan luar biasanya, agar tidak membuat masalah bagi saudarinya.

 

“Be-begitu ya. Normal, ya. Normal...”

 

“Ya! Itu bagus untuk menjadi normal, ya kan?”

 

“..........”

 

Dalam jeda yang cukup lama tersebut, Marcela mengingat alasan awalnya menemui Adele.

 

“Nona Adele,” dia memulai. “Sepertinya kamu terlihat cocok dengan para anak laki-laki...”

 

Adele melompat seketika. “Itu benar! Meskipun aku tidak tahu kenapa... Aku sangat buruk dalam berbicara dengan laki-laki. Satu-satunya lelaki yang aku pernah berbicara dengannya hanyalah ayahku.”

 

Adele melanjutkan: “Aku benar-benar tidak punya rencana untuk mendapat pacar sekarang. Aku akan senang jika aku mendapatkannya saat aku bisa mandiri, sebagai orang dewasa. Aku berharap apakah ada cara untukku menjauhkan mereka semua...”

 

“Ap...?”

 

Marcela dan teman-temannya tercengang. Ada sesuatu yang salah dalam situasi ini.

 

Lagi pula hal yang ingin mereka bicarakan pada awalnya sudah tidak penting lagi.

 

Untuk memecahkan keheningan, Marcela mengajukan pertanyaan pertama yang muncul di kepalanya.

 

“Oke, apa... apa kamu punya rencana besok?”


“Oh, ada. Aku bekerja di hari libur. Aku tidak punya uang dan tidak menerima uang saku... Dengan bayaranku besok, semoga aku dapat membeli setidaknya satu pakaian dalam lagi!”

 

Caranya mengatakan itu semua—dengan riangnya!—terlalu berat untuk ditanggung ketiga gadis itu.

 

Aureana gemetar, wajahnya pucat.

 

Monika terlihat merah, giginya menggigit bibirnya saat air mata mengalir dari matanya.

 

Sedangkan, Marcela, berdoa sekuat tenaga untuk tetap tenang.

 

“Ba-baiklah, kami tidak ingin mengganggumu terlalu lama. Sepertinya kami harus pergi...”

 

“Oh, tidak apa-apa untuk tinggal...”

 

Marcela menjawab sambil berdiri, “Akan ada banyak waktu nanti. Lagi pula, kita masih punya waktu tiga tahun.”

 

“Tentu saja!”

 

Para gadis itu mengucapkan selamat tinggal pada teman sekelasnya dan kembali ke kamar masing-masing, meninggalkan Adele yang kegirangan.

 

“Aku berhasil! Sekarang aku bisa mencoret ‘mempunyai teman’ dari daftar keinginanku! Dan bukan cuma satu, tapi ada tiga!”

 

Apa yang Adele tidak ketahui adalah mereka bertiga kembali dalam diam yang dalam.

 

Meow.

 

“Oh, kau kembali!”

 

Seekor anak kucing berwarna hitam menyelinap masuk ke kamar Adele melalui jendela yang terbuka.

 

Adele mengambil piring dari laci dan menaruhnya di atas meja, saat kucing itu melompat dengan semangat untuk mengambil tulangnya.

 

“Kau benar-benar menyukai tulang itu, ya? Aku akan mengambilkan lagi yang baru lain kali.”

 

***

 

Itu adalah pagi hari di hari pertama minggu kedua bagi Kelas A.


“Nona Adele, apakah kamu punya waktu?”

 

“Oh, Nona Marcela!”

 

Adele berlari menuju Marcela dengan gembira, yang menyodorkan sebuah paper bag ke arahnya.

 

“Aku tidak yakin dengan ukurannya, tapi aku membeli ini dengan pemikiran bahwa kamu akan dapat memakainya.”

 

“Huh? Untukku?”

 

Tas itu terlihat sedikit besar.

 

“Terima kasih! Bisakah aku membukanya?”

 

“Ja-jangan sekarang! Buka saja saat kamu kembali ke kamarmu!”

 

Menilai dari wajah Marcela yang kemerahan, Adele mempunyai beberapa tebakan tentang apa isi tas itu.

 

Itu bukanlah sesuatu yang seorang gadis akan salah menilai ukurannya.

 

“Nona Marcela...”


Adele mendekat, lalu memeluk Marcela dengan erat.

 

“He-hentikan itu! Nona Adele, lepaskan aku!”

 

Marcela memberontak, wajahnya memerah—tetapi tidak ada jalan keluar dari pelukan kuat Adele yang tidak disengaja.

 

Teman sekelasnya memperhatikan, iri dengan perhatian yang diberikan Adele.

 

Sejak hari itu, teman-teman sekelas Adele, laki-laki maupun perempuan mulai memberikannya hadiah manisan dan daging kering.

 

Adele mendapati hal ini aneh, tapi menerima semua hadiah itu dengan senang. Namun, tidak ada reaksi berlebihan Adele sebelumnya.

 

“Kenapa aku tidak mendapat pelukan Adele? Oi, kenapa?”

 

“A-aku tidak tahu kenapa.”

 

Gadis yang lain menekan Marcela untuk jawaban, dan semakin banyak murid yang ikut.

 

“Marcela, apa yang kau berikan kepada Adele sampai-sampai dia memelukmu seperti itu?”


“Bu-bukan apa-apa!”

 

“Bukan apa-apa apanya! Sebenarnya apa sih yang kau kasih ke dia?”

 

“A-aku tidak ingat!”

 

“Kumohon, beritahu aku, aku ingin pelukan dari Adele!”

 

“Aku juga! Aku mau Adele memelukku!”

 

“Dan aku mau memeluknya!”

 

“Aku juga!”

 

Suara seorang laki-laki mencicit masuk. “Aku juga...”

 

“KALIAN LAKI-LAKI JAUH-JAUH DARI SINI!”


Chapter 3, End

Komentar